Hukum  

Hukuman Ringan Terdakwa Korupsi APD Lemahkan Semangat Antikorupsi

Budi Sylvana memiliki peran strategis dalam proyek pengadaan APD Covid-19. Vonis ringan kepadanya menjadi sorotan.

Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19, Budi Sylvana setelah menjalani sidang putusan dengan pidana penjara 3 tahun dan denda sebesar Rp100 juta subsider 2 bulan kurungan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 5 Juni 2025. Tempo/Magang/Muhammad Rizky Fadhlurahman

Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19, Budi Sylvana setelah menjalani sidang putusan dengan pidana penjara 3 tahun dan denda sebesar Rp100 juta subsider 2 bulan kurungan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 5 Juni 2025. Tempo/Magang/Muhammad Rizky Fadhlurahman

JURNALOKA.COM – MANTAN Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan, Budi Sylvana, dihukum 3 tahun penjara dalam dugaan kasus korupsi pengadaan 1,1 juta set alat pelindung diri (APD) Covid-19. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menilai perbuatan Budi dalam korupsi APD itu telah memenuhi unsur penyalahgunaan wewenang yang memperkaya orang lain dan merugikan keuangan negara sebesar Rp 319 miliar.

Berdasarkan fakta-fakta persidangan, majelis hakim yakin Budi tidak menikmati sepeser pun uang korupsi dalam pengadaan tersebut. Namun, sebagai pejabat pembuat komitmen, Budi harus bertanggung jawab atas penggunaan dana siap pakai pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang berujung kerugian negara.

Majelis menilai perbuatan Budi melanggar Pasal 3 juncto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

“Terdakwa Budi Sylvana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” kata ketua majelis hakim, Syofia Marlianti Tambunan, saat membacakan amar putusan pada 5 Juni 2025.
Dalam perkara yang sama, majelis hakim juga menghukum dua terdakwa lain, yakni Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik dan Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo. Masing-masing diganjar hukuman 11 tahun dan 11 tahun 6 bulan penjara.

Korupsi pengadaan APD ini terjadi pada awal masa pandemi Covid-19. Pada 20 Maret 2020, Kemenkes, melalui Pusat Krisis Kesehatan, membeli 10 ribu set APD dari PT PPM dengan harga Rp 379.500 per set.

Sehari kemudian, atas perintah Kepala BNPB, TNI mengambil 170 ribu set APD dari gudang PT PPM di kawasan berikat dan mendistribusikan ke rumah sakit di sepuluh provinsi. Pendistribusian itu tidak dilengkapi dengan dokumen pesanan, surat pengadaan, ataupun bukti pendukung.

Dalam waktu hampir bersamaan, Satrio Wibowo selaku Direktur Utama PT EKI meneken kontrak suplai APD sebanyak 500 ribu set dengan produsen Korea, PT Yoon Shin Jaya. Kerja sama ini tidak didasarkan pada mekanisme tender atau seleksi penyedia barang sebagaimana ketentuan pengadaan barang/jasa pemerintah.

Selain itu, PT EKI tidak memiliki izin penyalur alat kesehatan, tak mempunyai gudang, dan bukan pengusaha kena pajak. Meski begitu, EKI tetap dipercaya ikut dalam pengadaan dan pendistribusian APD dalam skala besar.

Pada 24 Maret 2020, dalam rapat antara BNPB dan para pihak swasta, disepakati bahwa 170 ribu set APD yang dikirim TNI akan ditagih kepada pemerintah dengan harga US$ 50 per set atau sekitar Rp 700 ribu. Harga itu dinilai jauh lebih mahal dibanding harga pembelian awal oleh Kemenkes, yakni sekitar Rp 370 ribu per set.

Dua hari kemudian, Satrio menghubungi Kepala BNPB dan meminta agar pembayaran segera dilakukan. Pada 27 Maret 2020, Bendahara BNPB mentransfer dana sebesar Rp 10 miliar ke rekening PT PPM meski saat itu belum ada kontrak ataupun surat pesanan.

Selanjutnya, pada 28 Maret, Kemenkes mentransfer Rp 109 miliar kepada PT PPM. Saat itu Budi Sylvana belum resmi menjadi pejabat pembuat komitmen. Namun surat penunjukan dirinya dibuat mundur menjadi 27 Maret 2020.

Pada tanggal itu pula Budi menandatangani surat pesanan sebanyak 5 juta set APD bersama dua terdakwa lain, Ahmad Taufik dari PT PPM dan Satrio dari PT EKI. Surat pesanan itu tidak memuat spesifikasi barang, jangka waktu, mekanisme pembayaran, serta hak dan kewajiban masing-masing pihak. Yang janggal, meski surat ditujukan kepada PT PPM, Satrio turut menandatanganinya.

Seiring dengan berjalannya waktu, pembayaran terus dilakukan meski dokumen dan izin pendukung tidak lengkap. Pada April-Mei 2020, pemerintah membayar Rp 711,28 miliar kepada PT PPM dan PT EKI untuk pengadaan 1,01 juta set APD merek BOHO. Padahal PT EKI tidak memiliki kualifikasi sebagai penyedia barang/jasa di lingkungan pemerintah dan tak menyerahkan bukti kewajaran harga kepada pejabat pembuat komitmen.

Audit penghitungan kerugian negara oleh jaksa menyatakan negara rugi Rp 319,69 miliar. Keuntungan terbesar diperoleh Ahmad Taufik, yakni Rp 224,19 miliar, disusul Satrio sebesar Rp 59,98 miliar, PT Yoon Shin Jaya Rp 25,25 miliar, dan PT GA Indonesia Rp 14,62 miliar.

Jaksa dan hakim menilai peran Budi dalam pengadaan APD sangat krusial. Ia menyalahgunakan wewenangnya sebagai pejabat pembuat komitmen dan melanggar prosedur pengadaan yang ditetapkan pemerintah.

Dalam persidangan, majelis hakim menyebutkan Budi sebagai pejabat negara telah mengabaikan prosedur pengadaan yang berlaku. Alih-alih menjalankan fungsi pejabat pembuat komitmen untuk memverifikasi kelayakan penyedia, ia justru membiarkan transaksi tanpa dasar hukum terus berjalan. Bahkan ia ikut menandatangani surat pesanan yang tidak sah.

Perbuatan Budi itu membuka ruang terjadinya korupsi yang kemudian dimanfaatkan oleh para pihak swasta untuk memperkaya diri. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan, meski tidak terbukti menikmati hasil kejahatan, Budi tetap harus bertanggung jawab karena tindakannya melanggar hukum dan berkontribusi langsung terhadap kerugian negara.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, berpendapat pemidanaan terhadap Budi selaras dengan rumusan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini, kata dia, memungkinkan seorang pejabat publik dipidana meski tidak menerima keuntungan pribadi. Perbuatannya bisa dianggap menyalahgunakan wewenang dan menyebabkan kerugian keuangan negara.

Dalam konstruksi hukum, kata Zaenur, titik beratnya bukan pada siapa yang memperkaya diri, melainkan pada tindakan melawan hukum yang dilakukan pejabat negara. “Kalau tanpa peran pejabat ini, tindak pidana itu tidak akan terjadi,” ujarnya kepada Tempo,Rabu, 10 Juni 2025.

Ia menjelaskan, perbuatan Budi memenuhi tiga unsur penting dalam Pasal 3, yakni penyalahgunaan kewenangan, pelanggaran prosedur, dan kerugian negara yang nyata. Dengan posisinya sebagai pejabat pembuat komitmen di Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, Budi dianggap berperan sentral atas terjadinya korupsi pengadaan APD pada masa awal pandemi.

Zaenur mengatakan kasus ini menjadi contoh penting bahwa korupsi tidak selalu berwujud uang suap atau gratifikasi yang diterima pejabat. Dalam konteks pengadaan, tindakan administratif, seperti membiarkan pembayaran tanpa dasar hukum atau mengabaikan seleksi penyedia barang, juga bisa menjadi pintu masuk pidana. “Perbuatannya harus nyata-nyata melawan hukum, tidak sesuai dengan prosedur, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dan menguntungkan orang lain.”

Dosen hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, sependapat dengan Zaenur. Kewenangan pengadaan APD itu berada pada lingkup kewenangan Budi. “Tanpa perannya, korupsi itu tidak bisa terjadi,” kata Fickar. “Karena itu ia dihukum meski terbukti tidak menikmati hasil korupsi.”

Eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Yudi Purnomo Harahap, menilai vonis 3 tahun kurungan kepada Budi terlalu ringan dibanding perannya yang strategis dalam perkara ini. Vonis ringan ini justru merusak pesan moral dalam pemberantasan korupsi.

Yudi mengingatkan bahwa vonis ringan seperti ini bukan kasus tunggal. Fenomena ini akan berdampak serius pada kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Ia mengatakan selama ini sudah banyak hakim yang terjerat kasus mafia hukum sehingga setiap putusan yang janggal berpotensi menimbulkan kecurigaan. “Masyarakat bisa kehilangan kepercayaan jika vonis yang dijatuhkan terlalu jauh dari logika publik. Apalagi ketika alat bukti di pengadilan sudah sangat kuat.”

Dosen hukum pidana Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, mempertanyakan dasar pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan vonis ringan terhadap Budi. Menurut dia, logika pemidanaan dalam perkara ini menjadi kabur ketika hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah, tapi hanya dijatuhi hukuman ringan. Padahal kasus ini terjadi dalam situasi darurat pandemi Covid-19.

Orin mengingatkan bahwa korupsi dalam keadaan bencana semestinya menjadi faktor pemberat, bukan justru meluruhkan sanksi pidana. Ia juga menyoroti kejanggalan putusan yang menyatakan Budi tidak menikmati keuntungan dari korupsi, tapi tetap menyebabkannya dijatuhi pidana ringan. “Kalau memang tak terlibat dan tidak menerima keuntungan ataupun membuat orang lain menerima keuntungan, seharusnya justru tidak bisa dipidana,” katanya. Sebaliknya, kata Orin, bila terbukti menyebabkan kerugian negara sebesar itu, perlu dilihat apakah ada niat jahat di balik perbuatannya.

Yang patut dipertanyakan, menurut Orin, apakah benar kesalahan administratif semata-mata dapat menimbulkan kerugian negara sebesar itu. Ia berpendapat pelanggaran administratif pun bisa menjadi modus korupsi bila dilakukan secara sengaja.

Ia khawatir pertimbangan hukum seperti ini justru menjadi celah untuk menjustifikasi vonis ringan yang pada akhirnya bisa menutup keterlibatan aktor lain yang mungkin memiliki peran lebih besar.

Dalam catatan IM57+ Institute, vonis ringan terhadap Budi justru menjadi ironi dalam upaya pemberantasan korupsi. Apalagi kejahatan itu terjadi di tengah krisis kesehatan. Korupsi dalam situasi bencana, seperti pandemi Covid-19, semestinya menjadi alasan pemberat hukuman. “Pengecualian hanya mungkin jika Budi mendapat status justice collaborator,” ujar Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito.

Lembaga yang digawangi mantan pegawai KPK itu juga mengingatkan bahwa penanganan kasus ini seharusnya tak berhenti pada pelaku di meja hijau. Penyidikan, tutur Lakso, semestinya mengungkap siapa sesungguhnya yang paling diuntungkan oleh pengadaan alat pelindung diri tersebut. “Untuk memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan secara tuntas, aparat penegak hukum harus mengungkap penerima manfaat sesungguhnya (ultimate beneficial owner).”|  TEMPO.CO

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *